Peninggalan Constantinus I

jmpl|lurus|Patung kepala Constantinus yang terbuat dari perunggu, dari sebuah patung kolosal abad ke-4.

Meskipun Constantinus diberi sebutan kehormatan "Agung" (Bahasa Inggeris: The Great; "Μέγας") oleh para sejarawan Kristiani jauh setelah wafatnya, baginda dapat saja mengklaim gelar tersebut semata-mata kerana berbagai kemenangan dan pencapaian militernya. Selain mempersatukan Empayar di bawah kepemimpinan satu orang maharaja, baginda memperoleh kemenangan-kemenangan besar atas kaum Franka dan Alemanni antara tahun 306–308, atas kaum Franka lagi antara tahun 313–314, atas kaum Goth pada tahun 332, dan atas kaum Sarmatia pada tahun 334. Pada tahun 336, Constantinus kembali menduduki hampir seluruh provinsi Dacia yang telah lama terlepas, sejak Aurelianus terpaksa melepaskannya pada tahun 271. Pada saat wafatnya, baginda sedang merencakan suatu ekspedisi besar untuk mengakhiri serangan-serangan yang dilakukan Empayar Persia atas provinsi-provinsi timur.[269] Dengan total masa pemerintahan 31 tahun (gabungan masa pemerintahannya sebagai rekan-penguasa dan penguasa tunggal), baginda menjadi maharaja yang paling lama menjabat sejak Augustus dan maharaja kedua yang paling lama menjabat dalam sejarah Romawi.

Dalam ranah budaya, Constantinus memiliki kontribusi terhadap bangkitnya mode wajah yang dicukur bersih di antara para maharaja Romawi dari Augustus sampai Trajanus, yang awalnya diperkenalkan di kalangan Romawi oleh Scipio Afrikanus. Mode baru imperial Romawi itu bertahan hingga masa pemerintahan Fokas.[270][271]

Empayar Bizantin memandang Constantinus sebagai pendirinya, dan Empayar Romawi Suci memperhitungkan dia di antara para figur terhormat dari tradisinya. Dalam Empayar Bizantin di kemudian hari, adalah suatu kehormatan besar bagi seorang maharaja jika dipuji sebagai seorang "Constantinus baru". Sepuluh maharaja, termasuk maharaja terakhir Empayar Romawi Timur, menyandang julukan tersebut.[272] Beragam bentuk monumental Konstantinian digunakan di istana Charlemagne untuk mengesankan bahawa baginda adalah penerus Constantinus dan setara dengannya. Constantinus mendapat suatu peran dalam mitos sebagai seorang pejuang penentang "kaum kafir". Motif ekuestrian Romanesque, figur penunggang kuda dalam postur maharaja Romawi yang berjaya, menjadi suatu metafora visual dalam patung-patung untuk memuji para dermawan daerah setempat. Nama "Constantinus" sendiri kembali populer di Prancis barat pada abad ke-11 dan ke-12.[273] Gereja Ortodoks memandang Constantinus sebagai seorang santo (Άγιος Κωνσταντίνος, Santo Constantinus), yang diperingati setiap tanggal 3 September,[274] dan menyebutnya isapostolos (Ισαπόστολος Κωνσταντίνος)—orang yang setara dengan para Rasul.[275]

Bandar Udara Niš dinamai "Constantinus Agung" untuk menghormati dirinya. Sebuah Salib besar pernah direncanakan untuk dibangun di atas bukit yang menghadap Niš, Serbia, tetapi projek ini kemudian dibatalkan.[276] Pada tahun 2012, sebuah memorial didirikan di Niš untuk menghormatinya. Peringatan Maklumat Milan diadakan di Niš pada tahun 2013.[277]

Historiografi

Selama masa hidupnya dan para puteranya, Constantinus disajikan sebagai suatu teladan kebajikan. Kaum pagan seperti Praxagoras dari Athena dan Libanius melontarkan banyak pujian mengenainya. Namun, ketika yang terakhir dari para puteranya wafat pada tahun 361, Yulianus yang Murtad keponakannya (dan menantunya) menulis satire Simposium, atau Saturnalia yang merendahkan Constantinus, menyebut dia inferior dibandingkan dengan para maharaja besar pagan, serta menghubungkannya dengan kemewahan dan keserakahan.[278] Setelah Yulianus, Eunapius memulai—dan Zosimus melanjutkan—suatu tradisi penulisan sejarah yang menyalahkan Constantinus kerana memperlemah Empayar melalui keberpihakannya pada kaum Kristiani.[279]

[[Berkas:Sir Peter Paul Rubens - Constantius appoints Constantine as his successor - Google Art Project.jpg|jmpl|kiri|Konstantius menunjuk Constantinus sebagai penerusnya, karya Peter Paul Rubens, tahun 1622.]]

Dalam dunia Timur mahupun Barat pada abad pertengahan, Constantinus disajikan sebagai seorang penguasa yang ideal, tolok ukur setiap raja ataupun maharaja.[279] Penemuan kembali sumber-sumber anti-Konstantinian pada Abad Renaisans memicu penilaian ulang terhadap karier Constantinus. Seorang humanis Jerman bernama Johann Löwenklau, penemu tulisan-tulisan Zosimus, memublikasikan suatu terjemahan Latin daripadanya pada tahun 1576. Dalam kata pengantarnya, baginda berpendapat bahawa penggambaran Zosimus mengenai Constantinus lebih baik daripada yang disajikan oleh Eusebius dan para sejarawan Gereja, menawarkan suatu pandangan yang lebih seimbang.[280] Kardinal Caesar Baronius, seorang tokoh Kontra Reformasi, lebih menyukai laporan Eusebius dari era Konstantinian. Kisah Hidup Constantinus (1588) karya Baronius menyajikan Constantinus sebagai model seorang pangeran Kristiani.[281] Dalam Sejarah Kemunduran dan Kejatuhan Empayar Romawi (1776–89) karyanya, Edward Gibbon, yang bertujuan menyatukan kedua ekstrem keilmuan Konstantinian, menawarkan suatu citra Constantinus yang dibangun berdasarkan narasi-narasi dari Eusebius dan Zosimus yang dikontraskan.[282] Dengan suatu bentuk yang menyejajarkan laporan karyanya mengenai kemunduran Empayar Romawi, Gibbon menyajikan Constantinus dalam versi seorang pahlawan perang terhormat yang dirusakkan oleh pengaruh Kristiani, yang berubah menjadi seorang diktator Oriental pada masa tuanya: "seorang pahlawan ... mengalami kemerosotan menjadi seorang penguasa yang kejam dan tak bermoral".[283]

Interpretasi modern tentang pemerintahan Constantinus diawali dengan Zaman Constantinus Agung (1853, rev. 1880) karya Jacob Burckhardt. Constantinus versi Burchhardt adalah seorang sekularis licik, seorang politisi yang memanipulasi semua pihak dalam usaha untuk mengamankan kekuasaannya sendiri.[284] Henri Grégoire, menulis pada tahun 1930-an, mengikuti penilaian Burckhardt mengenai Constantinus. Menurut Grégoire, Constantinus menjadi berminat pada Kekristenan setelah melihat manfaatnya secara politis. Grégoire merasa skeptis dengan autentisitas Vita karya Eusebius, dan mendalilkan sebuah pseudo-Eusebius untuk memikul tanggung jawab atas narasi-narasi penglihatan dan konversi dalam karya tersebut.[285] Otto Seeck, dalam Geschichte des Untergangs der antiken Welt (1920–23), dan André Piganiol, dalam L'empereur Constantin (1932), menuliskan hal berlawanan dengan tradisi kesejarahan itu. Seeck menyajikan Constantinus sebagai seorang pahlawan perang yang tulus, dan ambiguitasnya merupakan akibat dari inkonsistensinya yang naif.[286] Constantinus versi Piganiol adalah seorang monoteis yang filosofis, seorang anak dari sinkretisme religius pada zamannya.[287] Riwayat-riwayat sejarah yang berkaitan karya A. H. M. Jones (Constantinus dan Konversi Eropa, 1949) dan Ramsay MacMullen (Constantinus, 1969) memberikan gambaran-gambaran dari seorang Constantinus yang kurang visioner dan lebih impulsif.[288]

Laporan-laporan belakangan lebih cenderung menyajikan Constantinus sebagai seseorang yang benar-benar melakukan konversi diri ke dalam Kekristenan. Dimulai dari Constantinus Agung dan Gereja Kristiani (1929) karya Norman H. Baynes, dan dipertegas dengan Konversi Constantinus dan Roma Pagan (1948) karya Andreas Alföldi, berkembang suatu tradisi kesejarahan yang menyajikan Constantinus sebagai seorang Kristiani yang berkomitmen. Karya penting Timothy Barnes yang berjudul Constantinus dan Eusebius (1981) merepresentasikan puncak dari tren tersebut. Constantinus versi Barnes mengalami suatu konversi radikal, yang mendorongnya melakukan suatu perjuangan pribadi untuk mengonversi kekaisarannya.[289] Constantinus dan Empayar Kristiani (2004) karya Charles Matson Odahl memuat tema yang kurang lebih sama.[290] Terlepas dari karya tulis Barnes, argumen-argumen mengenai kekuatan dan kedalaman konversi religius Constantinus terus berlanjut.[291] Tema-tema tertentu dalam mazhab ini mencapai ekstrem baru dalam Kekristenan Constantinus Agung (1996) karya T.G. Elliott, yang menyajikan Constantinus sebagai seorang Kristiani yang berkomitmen sejak baginda masih anak-anak berusia dini.[292] Pandangan serupa tentang Constantinus termuat dalam Quand notre monde est devenu chrétien, karya Paul Veyne tahun 2007, yang tidak berspekulasi seputar asal mula motivasi Kristiani Constantinus, tetapi menyajikan dirinya, dalam perannya sebagai Maharaja, sebagai seorang revolusioner keagamaan yang sangat meyakini bahawa dirinya dimaksudkan "untuk memainkan suatu peran seturut waktunya dalam karya milenium keselamatan umat manusia".[293]

Donasi Constantinus

Rencana utama: Donasi Konstantinus

Kalangan Katolik Ritus Latin menyatakan keraguan mereka seputar pembaptisan Constantinus menjelang wafatnya dan oleh seorang uskup yang tidak ortodoks, kerana hal tersebut merusak otoritas Kepausan. Selain itu, pada awal abad keempat, sebuah legenda menyatakan bahawa Paus Silvester I (314–335) menyembuhkan sang maharaja dari penyakit kusta. Menurut legenda tersebut, Constantinus dibaptis tidak lama setelahnya, dan mulai membangun sebuah gereja di Istana Lateran.[294] Pada abad kedelapan, kemungkinan besar pada masa kepausan Stefanus II (752–757), sebuah dokumen yang disebut Donasi Constantinus muncul pertama kali, yang di dalamnya dinyatakan bahawa Constantinus yang baru berpindah keyakinan menyerahkan kekuasaan temporal atas "kota Roma dan seluruh provinsi, distrik, serta kota di Italia dan wilayah Barat" kepada Silvester dan para penerusnya.[295] Pada Abad Pertengahan Tinggi, dokumen tersebut digunakan dan diterima sebagai dasar kekuasaan temporal Paus, meskipun dokumen tersebut dinyatakan palsu oleh Maharaja Otto III[296] dan dicap sebagai akar dari keduniawian kepausan oleh penyair Dante Alighieri.[297] Filolog abad ke-15 Lorenzo Valla menyatakan bahawa dokumen tersebut memang hasil pemalsuan.[298]

Historia karya Geoffrey dari Monmouth

Pada Abad Pertengahan, kaum Briton memandang Constantinus sebagai seorang raja dari kaum mereka sendiri, secara khusus mengaitkannya dengan Caernarfon di Gwynedd. Meskipun sebagian dari hal ini merupakan dampak dari ketenaran dan proklamasi dirinya sebagai Maharaja di Britania, terdapat juga kesimpangsiuran mengenai hubungan keluarga antara dia dengan Santa Elen (diduga adalah istri Magnus Maximus) dan puteranya, Constantinus yang lain (Bahasa Wales: Custennin). Pada abad ke-12, Henry dari Huntingdon menyertakan suatu bagian dalam Historia Anglorum karyanya yang menyatakan bahawa ibu maharaja Constantinus adalah orang Briton dan putri Raja Cole dari Colchester.[299] Geoffrey dari Monmouth mengembangkan cerita tersebut dalam Historia Regum Britanniae karyanya yang sangat fiksional, yang memuat laporan tentang mereka yang diduga sebagai Raja-Raja Britania dari asal muasal Troya mereka sampai invasi Anglo-Sachsen.[300] Menurut Geoffrey, Cole adalah Raja kaum Briton ketika Konstantius, sebagai seorang senator, datang ke Britania. Karena khawatir dengan kaum Romawi, Cole tunduk pada hukum Romawi selama baginda menjabat sebagai raja. Namun, baginda wafat sebulan kemudian, dan Konstantius naik ke takhtanya, menikahi putri Cole, Helena. Putra mereka, Constantinus, menggantikan ayahnya sebagai Raja Britania sebelum menjadi Maharaja Romawi.

Secara historis, rangkaian peristiwa tersebut tampak sangat mustahil. Konstantius telah meninggalkan Helena pada saat baginda berangkat menuju Britania.[35] Selain itu, tidak ada sumber yang lebih awal yang menyebutkan bahawa Helena lahir di Britania, apalagi menyebutkan bahawa baginda adalah seorang putri raja. Sumber yang digunakan Henry untuk menulis cerita tersebut tidak diketahui, meskipun mungkin saja berasal dari sebuah hagiografi Helena yang telah hilang.[300]

Rujukan

WikiPedia: Constantinus I http://www.ucalgary.ca/~vandersp/Courses/texts/jor... http://www.anders.com/lectures/lars_brownworth/12_... http://www.britannica.com/eb/article-9109633/Const... http://www.christtoconstantine.com/ http://www.constantinethegreatcoins.com/ http://www.evolpub.com/CRE/CREseries.html#CRE2 http://www.evolpub.com/CRE/CREseries.html#CRE8 http://findarticles.com/p/articles/mi_hb6404/is_2_... http://www.forumancientcoins.com/numiswiki/view.as... http://www.hermitagerooms.com/exhibitions/Byzantiu...